Senin, 11 April 2011

DYAH PITALOKA : Senja Di Langit Majapahit

Penulis Hermawan Aksan

Penerbit C I Publishing

Tahun 2005 - Cetakan I

Tebal 326 hal



Siapa yang tak mengenal Gajah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit yang pernah bersumpah tak akan makan buah palapa sebelum seluruh Nusantara bersatu? Kebesaran namanya bukan saja karena sumpahnya itu, tetapi juga karena kepemimpinannya. Namanya tak bisa dilepaskan dari kerajaan besar di Jawa Timur itu, yang kekuasaannya meliputi sebagian Jawa, Bali, dan Sumatra. Majapahit adalah Gajah Mada dan Gajah Mada adalah Majapahit.



Kesetiaan sang Mahapatih kepada kerajaan tak perlu diragukan. Seluruh hidupnya dibaktikan demi kejayaan Majapahit. Baginya, mengabdi kepada kerajaan itu di atas segala-galanya. Lebih penting dari nyawanya sendiri. Dan memenuhi sumpahnya adalah ambisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.



Saat banyak negeri takluk - dengan suka rela ataupun melalui perlawanan - di bawah kebesaran Majapahit, nun di sebelah Barat Jawa, di kaki Gunung Sawal, tersebutlah sebuah kerajaan Sunda dengan rajanya Linggabuana, berdiri bebas merdeka; membuat Gajah Mada penasaran ingin menaklukkannya demi memenuhi ambisinya. Maka, diputarlah otaknya mencari cara yang tepat agar kerajaan tersebut dapat dikuasai.



Ketika itu raja muda Hayam Wuruk masih belum beristri. Banyak sudah utusan dan juru lukis istana dikirim ke negeri-negeri taklukan guna mencari calon permaisuri. Namun, hingga kini tak jua ada yang berkenan di hati Sang Raja.



Kebetulan sekali, Raja Linggabuana memiliki seorang putri jelita yang juga belum menikah. Dialah Dyah Pitaloka; seorang putri yang bukan saja cantik rupa, tetapi juga cantik budi bahasa, cerdas, ramah, baik hati, dan pemberani. Gajah Mada pun menemukan jalan!



Singkat cerita, Hayam Wuruk pun jatuh cinta pada sang putri jelita. Lalu, disampaikanlah lamaran resmi yang diterima dengan segala kebanggaan oleh Prabu Linggabuana. Dyah tak kuasa menolak. Ia tak ingin mengecewakan rama dan bundanya, meski pun sebenarnya ia masih punya cita-cita luhur memajukan kaumnya di negeri Sunda.



Ia ingin, perempuan negerinya tak hanya pandai menjadi istri setia, tetapi juga pandai membaca dan menulis. Ia tak ingin sekadar menjadi seperti Dayang Sumbi atau Purbasari. Ia bermimpi, perempuan Sunda kelak juga bisa memimpin negeri sebagaimana cerita yang ia baca dari negeri-negeri seberang di luar Tanah Sunda.



Namun, apa daya, ia tak mampu menolak nasib yang telah digariskan baginya. Maka, pergilah ia menyongsong masa depannya ke Tanah Jawa.



Ternyata ia bukan sekadar menyerahkan dirinya , tetapi juga mengantarkan nyawanya. Putri Sunda itu mati dengan gagah berani di ujung tusuk kondenya sendiri, bahkan sebelum sampai ke pelaminan. Ia memilih mati bersama ayahanda dan rakyatnya demi membela kehormatan negeri ketimbang harus takluk pada tipu muslihat Gajah Mada yang licik dan keji. Peristiwa ini kemudian dikenal sejarah sebagai Perang Bubat.



Menarik, kisah di balik Perang Bubat yang dituturkan dalam novel Dyah Pitaloka ini. Dikemas dalam fiksi, membuat penulisnya bebas mengembangkan plot cerita dengan menggabungkan fakta dan imajinasi.



Di samping itu, sebagai penggemar wayang, Hermawan Aksan, penulis novel ini, cukup banyak juga mengutip lakon Mahabarata dan Ramayana sebagai ilustrasi dan pengaya cerita.



Berangkat dari obsesi penulisnya yang ingin menampilkan wanita cantik dalam sejarah (Sunda) - di Jawa ada Ken Dedes - maka dipilihlah Dyah Pitaloka dengan karakter hasil rekaannya : bukan hanya cantik tetapi juga cerdas, pemberani, dan penuh gagasan maju. Tentu saja, tokoh Dyah Pitaloka adalah real (fakta), namun soal karakter dan gambaran fisiknya, sepenuhnya hasil imajinasi penulis. Sebab, masih menurut penulisnya, tak ada ditemukan peninggalan berupa patung atau lukisan sosok sang putri jelita ini. Yang ada hanya sekadar gambaran Dyah Pitaloka yang cantik dan manja. Berbeda dengan Ken Dedes, misalnya, yang patungnya masih bisa kita lihat.



Selalu ada risiko dikritik oleh para sejarawan menulis kisah fiksi berdasarkan sejarah. Namun, semestinya kita bisa bersikap objektif dalam memberi penilaian sebuah karya fiksi. Sepanjang tak ada fakta sejarah yang disimpangkan atau diputarbalikkan, kisah tersebut patut kita terima sebagai sebuah upaya memperkaya wawasan dan melihat sejarah dari perspektif berbeda.



Misalnya saja, dalam novel ini, ditampilkan sisi lain Gajah Mada yang licik dan ambisius. Selama ini yang sering kita dengar hanyalah Gajah Mada yang perkasa, pahlawan yang telah mempersatukan Nusantara. Karakter Gajah Mada yang licik dan ambisius, rasanya mungkin saja, mengingat ia seorang panglima perang sebuah kerajaan besar. Tanpa ambisi, mustahil ia mampu meraih kejayaan.



Hari ini kita masih sering menyaksikan hubungan Jawa-Sunda (orang Jawa dan orang Sunda) yang tampak tidak terlalu mulus. Masing-masing pihak mengklaim sebagai "yang lebih tua". Apakah itu bermula dari Perang Bubat ini, yang mengakibatkan Gajah Mada gagal memenuhi sumpahnya dan Negeri Sunda kehilangan raja dan putrinya? Entahlah..



Bagian yang paling menarik, menurut saya, adalah saat Dyah Pitaloka memilih menikam ulu hatinya sendiri dengan patrem, sejenis tusuk konde penghias rambut wanita. Terasa ada unsur pemberontakan (seorang perempuan) di sini. Pilihan patrem - bukan keris atau belati - membuat adegan di akhir cerita ini jadi lebih dramatis dan menyentuh.



Hanya ada yang sedikit terasa berlebihan, yaitu ketika Hayam Wuruk, raja Majapahit yang gagah itu, menangis mengguguk atas kematian calon permaisuri pujaan hati yang bahkan belum sempat dikenalnya. Menurut saya, akan lebih pas jika digambarkan dengan sekadar menangis dalam hati dengan mata berkaca-kaca, umpamanya.

Tidak ada komentar:

Share |