Senin, 22 Agustus 2011

MASYARAKAT PAJAJARAN BUKAN PENGANUT HINDHU dan BUDHA



Pajajaran, sebuah kerajaan yang pernah eksis di tatar Sunda, dikenal oleh khalayak sebagai kerajaan Hindu. Bila merujuk pada buku-buku pelajaran Sejarah yang digunakan di sekolah maupun instansi pendidikan lainnya, niscaya akan meletakkan Pajajaran dalam kategori kerajaan Hindu-Budha yang pernah berjaya di bumi nusantara. Mungkin tidak terpikir oleh kita bahwa sejarah resmi yang diyakini oleh mainstream masyarakat tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan hingga kini.

Sebagian masyarakat Sunda yang menganut agama Sunda Wiwitan (agama asli Sunda) justru meyakini bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Sunda Pajajaran maupun Galuh (kerajaan yang ada sebelum Pajajaran muncul) adalah agama Sunda Wiwitan, bukannya agama Hindu. Beberapa sejarawan dan budayawan Sunda pun berpendapat sama, yakni ada kesalahan interpretasi sejarah dengan menyebut Pajajaran sebagai kerajaan Hindu. Pendapat yang tentunya disertai argumentasi rasional dan dapat dipertanggung jawabkan.


Pajajaran dan Agama Sunda
Sumber-sumber sejarah yang penulis ketahui memang menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Sunda pra maupun pasca Pajajaran terbentuk.[1] Naskah Carita Parahyangan misalnya mendeskripsikan adanya kaum pendeta Sunda yang menganut agama asli Sunda (nu ngawakan Jati Sunda). Mereka juga disebut mempunyai semacam tempat suci yang bernama kabuyutan parahyangan, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama Hindu.

Naskah Carita Parahyangan juga menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah sewabakti ring batara upati dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.[2] Selain naskah Carita Parahyangan, keberadaan agama asli Sunda pada masa lampau juga diperkuat oleh karya sastra Pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng episode “Curug Si Pada Weruh.” Dalam pantun tersebut diberitakan bahwa :

“Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea..”

Artinya : “Sebelum orang Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.”

Yang dimaksud dengan “urang Hindi” dalam pantun tersebut adalah orang Hindu dari India yang kemudian bertahta di tanah Sunda (Kadu Hejo). Bila kita menelusuri sejarah Sunda hingga masa ratusan tahun sebelum Kerajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran berdiri, maka akan dijumpai Kerajaan pertama di tatar Sunda yang bernama Salakanagara. Kerajaan inilah yang dimaksud dengan Kadu Hejo dalam pantun Bogor tersebut. Naskah Wangsakerta mencatat kerajaan ini sebagai kota tertua di Pulau Jawa,bahkan di Nusantara.


Konon, kota yang kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan ini terletak di daerah Pandeglang, Banten. Kerajaan Salakanagara yang pusat pemerintahannya terletak di Rajatapura telah ada sejak abad 2 Masehi. Aki Tirem, merupakan penguasa pertama daerah ini. Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Dewawarman, imigran sekaligus pedagang dari India yang kemudian menjadi menantu Aki Tirem.[3] Dewawarman inilah yang dimaksud sebagai “urang Hindi” oleh Pantun Aki Buyut Baju Rambeng. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebelum kedatangan Dewawarman dan rombongannya ke Salakanagara, penduduk Rajatapura telah memiliki agama sendiri, yakni agama Sunda. Dewawarman sendiri bertahta di Salakanagara dari tahun 130-168 M. Sedangkan dinastinya tetap berkuasa hingga akhirnya pusat kekuasaan dipindahkan ke Tarumanagara pada tahun 362 M oleh Jayasingawarman, keturunan ke-10 Dewawarman.[4]


Masih menurut naskah Pustaka Wangsakerta, agama Sunda pada masa Sunda kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu Sambawa, Sambada dan Winasa. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa ketiga kitab suci tersebut baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, yang berkuasa di tatar Sunda pada periode 1175-1297 M.[5] Menarik untuk disimak, bahwa agama Sunda yang telah berumur sekitar 1000 tahun atau 1 Milenium, baru mempunyai kitab suci tertulis pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Wisnu. Penulis berasumsi, mungkin selama era sebelum Prabu Sanghyang Wisnu berkuasa, kehidupan beragama di tanah Sunda belum mendapat perhatian yang serius dari penguasa kerajaan. Setelah masa Prabu Sanghyang Wisnu pulalah agama Sunda menjadi agama resmi kerajaan.


Beberapa bukti sejarah itu menunjukkan keberadaan agama Sunda asli atau Sunda Wiwitan sebagai sebuah agama yang dianut oleh masyarakat maupun penguasa Sunda kuno adalah fakta tak terbantahkan. Lalu bagaimanakah kedudukan agama Hindu di era Sunda kuno atau Sunda Pajajaran? Bukankah cikal bakal kerajaan Sunda kuno berasal dari orang-orang India yang notabene beragama Hindu? Bagaimana pula perbedaan mendasar antara agama Hindu dan agama Sunda Wiwitan?

Perbedaan Hindu dan Sunda Wiwitan
Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada faham Monoteisme atau percaya akan adanya satu Tuhan yang dikenal sebagai Sanghyang Keresa atau biasa juga disebut Batara Tunggal. Dalam menjalankan “tugasnya” mengatur semesta alam, Sanghyang Keresa dibantu oleh para Sang Hyang lainnya seperti Sanghyang Guru Bumi, Sanghyang Kala, Sanghyang Ambu Jati , Sunan Ambu, dan lainnya.

Agama Sunda Wiwitan juga mengenal klasifikasi semesta alam menjadi tiga bagian, yakni Buana Nyungcung (tempat bersemayamnya Sanghyang Keresa), Buana Panca Tengah (tempat hidup manusia dan mahluk hidupnya) dan Buana Larang (neraka). Selain itu, dalam ajaran Sunda Wiwitan juga dikenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui 9 mandala di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala yang harus dilalui manusia tersebut adalah (secara vertikal): Mandala Kasungka, Mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar dan Mandala Agung.

Bila kita merujuk pada ajaran Hindu, akan ditemukan perbedaan mendasar dengan ajaran agama Sunda terutama menyangkut konsep teologis. Hindu merupakan agama yang memiliki karakteristik Politeisme atau meyakini adanya lebih dari satu Tuhan atau Dewa. Dalam agama Hindu dikenal banyak dewa, diantaranya tiga dewa yang paling utama (Trimurti) yakni dewa Wisnu (pelindung), Brahma (pencipta) dan Siwa (perusak). Tidak dikenal istilah Sanghyang Keresa dalam ajaran Hindu.


Perbedaan lainnya adalah mengenai sarana peribadatan dari kedua agama. Pada era Sunda Pajajaran, agama Sunda Wiwitan mengenal beberapa tempat suci yang juga dijadikan sarana peribadatan seperti Balay Pamunjungan, Babalayan Pamujan serta Saung Sajen. Hampir semua tempat ibadah tersebut berbentuk punden berundak yang terdiri dari kumpulan batu-batu besar dan arca.[6] Sementara pada masa kejayaan Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sarana peribadatan yang banyak didirikan justru candi yang hingga kini masih dapat kita temui peninggalannya. Bahkan candi juga terkait dengan simbol kekuasaan penguasa tertentu.

Sedangkan budaya keberagamaan masyarakat Sunda yang menganut Sunda Wiwitan pada masa Sunda kuno sungguh berbeda. Mereka tidak mendirikan candi untuk beribadah melainkan, seperti yang telah disinggung sebelumnya, memusatkan kegiatan keagamaannya pada beberapa punden berundak yang dikenal sebagai kabuyutan. Di punden berundak inilah ritual atau prosesi keagamaan khas Sunda Wiwitan dilakukan oleh masyarakat Sunda. Beberapa peninggalan tempat ibadah era Pajajaran yang masih dapat kita temukan kini adalah kabuyutan Sindang Barang (kini menjadi kampung budaya Sindang Barang, Bogor) dan Mandala Parakan Jati di kaki Gunung Salak.

Hal inilah yang juga dapat menjawab pertanyaan sebagian orang mengenai “kelangkaan” candi di tatar Sunda. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat penganut Sunda Wiwitan memang tidak membutuhkan candi sebagai sarana peribadatan, melainkan kabuyutan yang masih kental tradisi megalitiknya. Jadi sedikitnya candi di tanah Sunda bukan karena “kemiskinan” peradaban Sunda di masa lampau, melainkan kondisi sosio-religiusnya yang berbeda dengan masyarakat Jawa-Hindu.

Bukti lainnya yang juga menunjukkan kelemahan klaim sejarah yang berhubungan dengan ke-Hindu-an kerajaan Sunda Pajajaran adalah tidak ditemukannya stratifikasi sosial khas masyarakat Hindu atau kasta pada masyarakat Sunda Kuno. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian serta sumber-sumber sejarah lainnya tidak menunjukkan adanya strata sosial yang didalamnya terdapat kasta Waisya, brahmana atau Sudra sebagaimana masyarakat Hindu di Jawa dan Bali. Disamping itu, tidak ditemukan pula konsep raja adalah titisan Tuhan atau Dewa (God-King) pada sistem pemerintahan Sunda Pajajaran atau Galuh sebagaimana dijumpai dalam sistem kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Timur.

Tidak tertutup kemungkinan memang, terjadi akulturasi antara agama Sunda Wiwitan dengan agama Hindu, mengingat leluhur keluarga kerajaan Sunda kuno sebagian berasal dari India. Namun akulturasi tersebut tidak terjadi dalam aspek sistem nilai. Bila merujuk pada konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat, terdapat tiga jenis budaya dalam satu unusur kebudayaan, yakni sistem nilai, perilaku dan kebendaan (artefak). Akulturasi dalam kasus ini hanya terjadi dalam aspek kebendaan dan perilaku,itupun tidak seluruhnya. Hal ini dapat terlihat dari nama-nama raja dan beberapa istilah dalam agama Sunda Wiwitan seperti Batara dan Resi. Namun untuk substansi ajaran, tidak tampak adanya akulturasi yang menjurus pada sinkretisme.


Sunda Wiwitan di Masa Kini
Sudah jelaslah kini bila kategorisasi kerajaan Sunda Pajajaran ataupun Galuh sebagai kerajaan Hindu merupakah hal yang perlu dikoreksi. Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa masyarakat Sunda kuno telah menganut suatu agama lokal yang mapan dan relatif mandiri dari pengaruh teologis Hindu-Budha, yakni agama Sunda Wiwitan.

Pada masa kini, Sunda Wiwitan masih dianut oleh sebagian etnis Sunda terutama kalangan suku Baduy di desa Kanekes, Banten dan Kasepuhan Banten Kidul yang kini berpusat di Ciptagelar,lereng Gunug Pangrango. Selain kedua tempat itu, penganut Sunda Wiwitan juga terdapat di Ciparay Bandung (terkenal dengan nama aliran Perjalanan Budi Daya), Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang), dan kampung adat Cireundeu Cimahi. Masing-masing komunitas memiliki penjabaran dan karakteristik ajarannya sendiri namun tetap berbasiskan inti ajaran agama yang sama, Sunda Wiwitan.

Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini, karena agama Sunda Wiwitan bukanlah agama yang secara resmi diakui keberadaannya oleh negara.[7] Akibatnya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Alangkah lucunya negeri ini, ketika kekuasaan politik berhak menentukan mana yang termasuk kriteria agama dan mana yang bukan. Yang pasti diskriminasi terhadap penganut Sunda Wiwitan masih terus langgeng hingga detik ini. Jangan-jangan, penulisan buku sejarah resmi yang masih memasukkan Pajajaran sebagai kerajaan Hindu juga bernuansa diskriminatif, yang berorientasi ingin menghapukan jejak kebudayaan Sunda Wiwitan dalam sejarah ?!

[1] Nama Pajajaran sendiri resmi digunakan pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata (1482-1521), yang juga bergelar Prabu Siliwangi dan Sri Baduga Maharaja. Pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, daerah Batutulis Bogor sekarang. Sementara sebelum nama Pajajaran muncul, kerajaan yang ada di tatar Sunda dikenal dengan nama Sunda-Galuh, yang berdiri sejak runtuhnya Tarumanagara dan berkuasanya Tarusbawa di tahun 669 M.



[2] Hal ini pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan. Tulisan beliau pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.



[3] Sejarah Salakanagara atau Rajatapura diuraikan secara rinci dalam naskah Wangsakerta Cirebon, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara.



[4] Jayasingawarman juga merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara yang berkuasa hingga tahun 382 M.



[5] Dalam beberapa cerita Pantun, beliau dijuluki Prabu Resi Wisnu Brata. Julukan ini diberikan karena beliaulah raja Sunda yang gencar menyiarkan agama Sunda di kalangan penduduk Sunda dan yang pertama kali membuat kitab suci Sunda dalam bentuk tertulis.



[6] Ulasan tentang sarana ibadah agama Sunda Wiwitan pada masa Pajajaran terdapat dalam tulisan budayawan Sunda, Anis Djatisunda yang berjudul Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun & Babad.



[7] Melalui UU No.1/1965 beserta aturan turunannya, Negara hanya mengakui 6 agama yang berhak hidup di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu ,Budha dan KongHuChu.

Minggu, 01 Mei 2011

Kerajaan Sunda





]Wilayah kekuasaan

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan sunting]
Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
[sunting]Historiografi



Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi). Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan
pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.
Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) saka (1030 - 1042AD).
[sunting]Catatan sejarah dari Cina
Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber-sumber berita Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Chan Ju-kua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Chu-fan-chi, yang ditulis dalam tahun 1178-1225 Masehi, menyebutkan pelabuhan air di Sin-t'o (Sunda). Chu-fan-chi melaporkan bahwa:
Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman.
Buku berbahasa Cina "shun-feng hsiang-sung" dari sekitar 1430 AD mengatakan:
Dalam perjalanan ke arah timur dari Sunda, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon.
[sunting]Catatan sejarah dari Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tome Pires dari Portugal. Dalam laporannya "Summa Oriental (1513 - 1515)" ia menulis bahwa:
Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya.
[sunting]Berdiriya kerajaan Sunda
Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
[sunting]Federasi antara Sunda dan Galuh
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).


Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah
sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
[

Selasa, 26 April 2011

Sejarah Sunda

Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.



Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.



Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'



Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.



Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).



Sejarah

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).



Kerajaan kembar

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.



Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.

Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.



Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.



Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.

Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.



Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.



Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.



Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).



Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).



Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.



Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.



Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).



RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.



Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).



Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).



Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).



Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.



Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).



Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.



Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).



Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.





Pemerintahan berdaulat



Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.



Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.



Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.



Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.



Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.



Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.



Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.



Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.



Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Mahkota Binokasih


Makuta Binokasih adalah lambang kebesaran atau mahkota kerajaan Pajajaran. Menjelang keruntuhannya, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi menyerahkan mahkota ini kepada Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang. Itu sebagai simbol bahwa Pajajaran masih hidup dan diteruskan oleh Sumedang Larang.

Sumedang bermula dari sebuah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Raja Galuh didirikan oleh Prabu Guru Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata. Di beri nama Tembong Agung , tembong artinya nampak dan agung sebuah cita-cita luhur. Terletak di melakukan tapa brata untuk Kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja sekarang.

Diceritakan jaman dahulu kala, “poek bulan tahun saka”, Prabu Tadjimalela dinobatkan menggantikan tahta ayahnya. Nama kerajaan Tembong Agung diganti menjadi Hibar Buana yang berarti di gunung Cakrabuana, terungkaplah kata awal “Insun Medal, Insun Mandangan” yang artinya “aku dilahirkan dan aku menerangi”. Dari situ terbentuklah nama Sumedang. Nama kerajaan Hibar Buana pun diganti menjadi kerajaan Sumedang Larang.

Tampuk pimpinan kerajaan Sumedang Larang terus berlanjut sampai putra beliu yakni Prabu Lebu Agung, kemudian Prabu Gajah Agung, kemudian Putri Nyi Mas Ratu Intan Dewata atau Ratu Pucuk Umun yang menikah dengan Pangeran Santri Kusumahdinata, tahun 1530. Pangeran Santri adalah putra Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih.

Pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka atau bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1530 M, Pangeran Santri dinobatkan sebagai Raja Sumedang Larang. Tiga bulan kemudian, di keraton Pakungwati, Cirebon, diadakan perjamuan syukuran atas kemenangan Cirebon atas Galuh, sekaligus merayakan penobatan Pangeran SAntri. Kala itu, Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Cirebon. Pangeran Santri merupakan murid Susuhunan Gunung Jati. Ia adalah penguasa Sumedang Larang yang menganut agama Islam pertama, dengan pusat pemerintahannya di Kutamaya.

Dari pernikahannya dengan Ratu Pucuk Umun itu, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai 6 keturunan. Yakni Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiai Rangga Haji, Kyai Demang Watang Walakung, Santowan Wirakusumah (yang melahirkan keturunan anak cucu di Pagaden Subang), Santowan Cikeruh dan Santowan Awiluar. Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1570.

Diantara putra-putrinya dari Pucuk Umun, yang melanjutkan pemerintahan Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya yang bergelar Prabu Geusan ulun. Semasa pemerintahannya, ia melanjutkan dan meluaskan kekuasaannya hingga meliputi wilayah selatan dengan Samudera Hindia, utara laut Jawa, barat kali Cisadane dan wilayah timur kali Cipamali.

Pajajaran Runtuh

Bersamaan dengan itu, Kerajaan Pajajaran sewaktu dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (1575) jatuh akibat serangan gabungan pasukan Islam. Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran, ia mengutus 4 orang Kandagalante (wedana). Mereka adalah Eyang Jayaperkosa (Sanghyang Hawu), Kondang Hapa, Terong Peot (Pancar Buana) dan Nangganan (Wiradijaya), untuk menyerahkan Makuta Binokasih serta menyampaikan amanat untuk Raja Sumedang Larang Prabu Geusan Ulun.

Adapun bunyi amanat tersebut adalah agar Kerajaan Sumedang Larang melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Selengkapnya bunyi amanat tersebut adalah “sira paniwi dening Pangeran Geusan Ulun. Rukungsira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabunwang salwirnya”. Sejak saat itu, keempat Kandagalante ini mengabdi kepada Raja Sumedang Larang, dan kemudian Prabu Geusan Ulun menjadi penerus kerajaan Pajajaran.

Kemudian pada 22 April 1579, Prabu Geusan Ulun dinobatkan menjadi Prabu Sumedang Larang yang merupakan penerus kerajaan Pajajaran. Tanggal itu pula yang kini menjadi Hari Jadi Kabupaten Sumedang. Kerajaan Sumedang Larang sendiri ketika itu telah menganut Islam.

Rekaman peristiwa, barang bukti dan berbagai benda pusaka purbakala peninggalan kerajaan Sumedang Larang hingga para Pangeran dan Bupati tersimpan lengkap bahkan terpelihara dengan baik, serta dapat disaksikan langsung eksistensinya di museum Prabu Geusan Ulun yang berada tepat di samping Pendopo Kabupaten Sumedang.

Selain benda bersejarah yang tersimpan di museum itu, tanah leluhur Sumedang juga diwarisi dengan berbagai situs dan peninggalan sejarah lainnya yang bertebaran di berbagai bekas kerajaan. Bentuk-bentuk peninggalan itu antara lain adanya upacara adat tradisi seni budaya buhun, yang hingga kini masih mengental di masyarakat. Seni pahat, makanan khas, keramah tamahan, serta panorama alamnya yang memikat. ***

Selasa, 12 April 2011

Perang Bubat

Perang Bubat adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. Sumber-sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang ini terutama adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.
Daftar isi
[tampilkan]
[sunting] Rencana pernikahan

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.[rujukan?]

Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.

Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit, dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
[sunting] Kesalah-pahaman

Melihat Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit, maka timbul niat lain dari Mahapatih Gajah Mada yaitu untuk menguasai Kerajaan Sunda, sebab untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya tersebut, maka dari seluruh kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai Majapahit. Dengan makksud tersebut dibuatlah alasan oleh Gajah Mada yang menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah ia ucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas' Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
[sunting] Gugurnya rombongan Sunda

Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda, serta putri Dyah Pitaloka.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).
[sunting] Sumber

Yoseph Iskandar, "Perang Bubat", Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.

Senin, 11 April 2011

DYAH PITALOKA : Senja Di Langit Majapahit

Penulis Hermawan Aksan

Penerbit C I Publishing

Tahun 2005 - Cetakan I

Tebal 326 hal



Siapa yang tak mengenal Gajah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit yang pernah bersumpah tak akan makan buah palapa sebelum seluruh Nusantara bersatu? Kebesaran namanya bukan saja karena sumpahnya itu, tetapi juga karena kepemimpinannya. Namanya tak bisa dilepaskan dari kerajaan besar di Jawa Timur itu, yang kekuasaannya meliputi sebagian Jawa, Bali, dan Sumatra. Majapahit adalah Gajah Mada dan Gajah Mada adalah Majapahit.



Kesetiaan sang Mahapatih kepada kerajaan tak perlu diragukan. Seluruh hidupnya dibaktikan demi kejayaan Majapahit. Baginya, mengabdi kepada kerajaan itu di atas segala-galanya. Lebih penting dari nyawanya sendiri. Dan memenuhi sumpahnya adalah ambisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi.



Saat banyak negeri takluk - dengan suka rela ataupun melalui perlawanan - di bawah kebesaran Majapahit, nun di sebelah Barat Jawa, di kaki Gunung Sawal, tersebutlah sebuah kerajaan Sunda dengan rajanya Linggabuana, berdiri bebas merdeka; membuat Gajah Mada penasaran ingin menaklukkannya demi memenuhi ambisinya. Maka, diputarlah otaknya mencari cara yang tepat agar kerajaan tersebut dapat dikuasai.



Ketika itu raja muda Hayam Wuruk masih belum beristri. Banyak sudah utusan dan juru lukis istana dikirim ke negeri-negeri taklukan guna mencari calon permaisuri. Namun, hingga kini tak jua ada yang berkenan di hati Sang Raja.



Kebetulan sekali, Raja Linggabuana memiliki seorang putri jelita yang juga belum menikah. Dialah Dyah Pitaloka; seorang putri yang bukan saja cantik rupa, tetapi juga cantik budi bahasa, cerdas, ramah, baik hati, dan pemberani. Gajah Mada pun menemukan jalan!



Singkat cerita, Hayam Wuruk pun jatuh cinta pada sang putri jelita. Lalu, disampaikanlah lamaran resmi yang diterima dengan segala kebanggaan oleh Prabu Linggabuana. Dyah tak kuasa menolak. Ia tak ingin mengecewakan rama dan bundanya, meski pun sebenarnya ia masih punya cita-cita luhur memajukan kaumnya di negeri Sunda.



Ia ingin, perempuan negerinya tak hanya pandai menjadi istri setia, tetapi juga pandai membaca dan menulis. Ia tak ingin sekadar menjadi seperti Dayang Sumbi atau Purbasari. Ia bermimpi, perempuan Sunda kelak juga bisa memimpin negeri sebagaimana cerita yang ia baca dari negeri-negeri seberang di luar Tanah Sunda.



Namun, apa daya, ia tak mampu menolak nasib yang telah digariskan baginya. Maka, pergilah ia menyongsong masa depannya ke Tanah Jawa.



Ternyata ia bukan sekadar menyerahkan dirinya , tetapi juga mengantarkan nyawanya. Putri Sunda itu mati dengan gagah berani di ujung tusuk kondenya sendiri, bahkan sebelum sampai ke pelaminan. Ia memilih mati bersama ayahanda dan rakyatnya demi membela kehormatan negeri ketimbang harus takluk pada tipu muslihat Gajah Mada yang licik dan keji. Peristiwa ini kemudian dikenal sejarah sebagai Perang Bubat.



Menarik, kisah di balik Perang Bubat yang dituturkan dalam novel Dyah Pitaloka ini. Dikemas dalam fiksi, membuat penulisnya bebas mengembangkan plot cerita dengan menggabungkan fakta dan imajinasi.



Di samping itu, sebagai penggemar wayang, Hermawan Aksan, penulis novel ini, cukup banyak juga mengutip lakon Mahabarata dan Ramayana sebagai ilustrasi dan pengaya cerita.



Berangkat dari obsesi penulisnya yang ingin menampilkan wanita cantik dalam sejarah (Sunda) - di Jawa ada Ken Dedes - maka dipilihlah Dyah Pitaloka dengan karakter hasil rekaannya : bukan hanya cantik tetapi juga cerdas, pemberani, dan penuh gagasan maju. Tentu saja, tokoh Dyah Pitaloka adalah real (fakta), namun soal karakter dan gambaran fisiknya, sepenuhnya hasil imajinasi penulis. Sebab, masih menurut penulisnya, tak ada ditemukan peninggalan berupa patung atau lukisan sosok sang putri jelita ini. Yang ada hanya sekadar gambaran Dyah Pitaloka yang cantik dan manja. Berbeda dengan Ken Dedes, misalnya, yang patungnya masih bisa kita lihat.



Selalu ada risiko dikritik oleh para sejarawan menulis kisah fiksi berdasarkan sejarah. Namun, semestinya kita bisa bersikap objektif dalam memberi penilaian sebuah karya fiksi. Sepanjang tak ada fakta sejarah yang disimpangkan atau diputarbalikkan, kisah tersebut patut kita terima sebagai sebuah upaya memperkaya wawasan dan melihat sejarah dari perspektif berbeda.



Misalnya saja, dalam novel ini, ditampilkan sisi lain Gajah Mada yang licik dan ambisius. Selama ini yang sering kita dengar hanyalah Gajah Mada yang perkasa, pahlawan yang telah mempersatukan Nusantara. Karakter Gajah Mada yang licik dan ambisius, rasanya mungkin saja, mengingat ia seorang panglima perang sebuah kerajaan besar. Tanpa ambisi, mustahil ia mampu meraih kejayaan.



Hari ini kita masih sering menyaksikan hubungan Jawa-Sunda (orang Jawa dan orang Sunda) yang tampak tidak terlalu mulus. Masing-masing pihak mengklaim sebagai "yang lebih tua". Apakah itu bermula dari Perang Bubat ini, yang mengakibatkan Gajah Mada gagal memenuhi sumpahnya dan Negeri Sunda kehilangan raja dan putrinya? Entahlah..



Bagian yang paling menarik, menurut saya, adalah saat Dyah Pitaloka memilih menikam ulu hatinya sendiri dengan patrem, sejenis tusuk konde penghias rambut wanita. Terasa ada unsur pemberontakan (seorang perempuan) di sini. Pilihan patrem - bukan keris atau belati - membuat adegan di akhir cerita ini jadi lebih dramatis dan menyentuh.



Hanya ada yang sedikit terasa berlebihan, yaitu ketika Hayam Wuruk, raja Majapahit yang gagah itu, menangis mengguguk atas kematian calon permaisuri pujaan hati yang bahkan belum sempat dikenalnya. Menurut saya, akan lebih pas jika digambarkan dengan sekadar menangis dalam hati dengan mata berkaca-kaca, umpamanya.

Rabu, 06 April 2011

Prabu Linggabuana

Linggabuana merupakan anak dari Prabu Rangamulya Luhur Prabawa, Prabu Rangamulya mempunyai dua orang anak yaitu Linggabuana dan Bunisora. Sebelum menjadi Raja Linggabuana pernah menjadi seorang adipati selama 7 tahun, dibawah pemerintahan kakeknya, menjadi Yuwaraja (Putra mahkota) pada masa pemerintahan ayahnya selama 10 tahun. (Yoseph Iskandar; 2005, 195).

Sang Linggabuana dinobatkan menjadi Raja Sunda pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka atau kira-kira tanggal 22 Februari 1350 Masehi, dengan gelar Prabu Maharaja Linggabuana. Prabu Linggabuana mempunyai seorang permaisuri yang bernama Dewi Lara Lingsing (Putrinya Prabu Arya Kulon), dari penikahannya ini Prabu Lingggabuana memperoleh beberapa orang anak yaitu:

Citraresmi, Citraresi oleh kakeknya dipanggil dengan nama Dyah Pitaloka
Putra yang kedua meninggal dunia pada usia 1 tahun
Putra yang ketiga juga meninggal pada usia 1 tahun
Putra yang keempat (bungsu) diberi nama Niskala Wastu Kencana lahir pada tahun 1348 Masehi (Kleak akan menggantikan ayahnya menjadi Raja Sunda).

Linggabuana dalam Peristiwa Bubat

Dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan Sunda, Linggabuana dibantu oleh adeknya Sang Bunisora yang lebih terkenal dengan sebutan Mangkubumi Suradipati. Pada masa pemerintahan Lingabuana di Kawali, datang seorang utusan dari Kerajaan Majapahit dengan tujuan untuk melamar putri Sunda (Dyah Pitaloka/ Citraresmi). Keterangan mengenai pelamaran ini tertulis dalam kitab Pararaton, sebagai berikut:

Bre prabhu ayun ing putrid ring Sunda. Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda.

Artinya:
“Sri Prabu (Hayam Wuruk) ingin memperistri putri dari Sunda. Patih madu diutus mengundang orang Sunda.
Ada bebrapa alas an penafsiran kenapa raja Prabu Hanyam Wuruk menginginkan istri Putri Sunda:

Mengingat kekerabatan Sunda-Majapahit sudah terjalin dengan baik sejak lama, karena pendiri Majaphit, yaitu Wijaya (Kretarajasa Jayawardana) adalah cucunya Prabu Guru Darmasiksa (Maharaja Sunda) Suatu yang wajar apabila Prabu Hayam Wuruk bermaksud mempererat kembali kekerabatan Sunda-Majapahit, seperti yang terjadi pada leluhur majapahit.
Karena kekerabatan Majapahit-Sunda begitu dekat, maka kabar tentang putrid Citraresmi sang sangat cantik, sehingga di juluki Wajra (Permata), telah menarik hati Prabu Hayam Wuruk yang masih singgel.

Lamaran Raja Majapahit ini tidak begitu saja diterima oleh Prabu Linggabuana, Linggabuana akhirnya berunding dengan kerabat keraton, termasuk dengan Bunisora. Setelah menimbang secara matang-matang akhirnya Linggabuana menerima lamaran Prabu Hayam Wuruk, yang disampaikan oleh patih Madu sebagai utusan kerajaan Majapahit. Prabu Linggabuana, selain menerima lamaran Hayam Wuruk, dia juga menerima permintaan untuk mengadakan upacara perkawinan di Kerajaan Majaphit.

Ada beberapa alasan mengapa Prabu Maharaja Linggabuana menerima lamaran dan usulan upacara perkawinan di adakan di Kerajaan Majaphit;

Mengingat kekerabatan Sunda- Majapahit.
Merupakan bentuk penghormatan kepada Majapahit, mengingat Majapahit sedang dalam puncak kejayaanya.

Sebagai seorang Raja Linggabuana tentunya akan memiliki kebanggan tersendiri apabila Putrinya diperistri oleh raja Majapahit. Kebanggaan Linggabuana ini tidak mengesampingkan dari kemerdekaan atau kedaulatan kerajaan Sunda. Berikut adalah petikan dari Pararaton yang menyatakan kedatangan Raja Sunda ke Majapahit.

Teka ratu Sunda maring Majapahit, sang ratu Maharaja tan pangaturaken putrid. Wong Sunda kudu awaramena tingkahing jurungen. Sira Patihing Majapahit tan payun yen wiwahanen reh sira rajaputri makaturatura.

Artinya:
“Lalu Raja Sunda datang di Majapahit. Sang Ratu Maharaja tidak bersedia mempersembahkan putri. Orang Sunda harus meniadakan selamatan (jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang patih Majapahit (Gajah Mada) tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia menganggap rajaputri (Citraresmi) sebagai upeti.”

Sikap yang diperlihatkan oleh Gajah Mada seperti ini, memang kalau dipandang dari segi politik dan pribadi dapat di maklumi. Karena pada zaman itu antara pengaruh dan kekuasaan, demi kejayaan pribadi dan Negara merupakan hal yang mutlak harus diperjuangkan. Pertempuran atau perang merupakan salah satu jalan yang digunakan untuk memperoleh kekuasaan. Kerajaan Majapahit dibawah Pemerintahan Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada pada masa itu memang sedang-sedang gencar-gencarnya meluaskan kekuasaan di nusantara. Maka salah satu jalan yang dilakukan Majapahit dibawah Gajah Mada adalah dengan memaksa Sunda untuk takluk, hingga terjadinya peristiwa Bubat.

Menurut Pararaton, pada tahun 1357 Masehi peristiwa yang dikenal sebagai Pasunda-Bubat, suatu pertikaian politik antara kerajaan Majapahit dengan Sunda. Peristiwa ini juga terkenal dalam cerita Parahyangan, yang menyebutkan:

Manak deui prebu maharaja. Lawasniya ratu tujuh tahun. Kena kabawa ku kalawiyasa, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran tohan. Mu(n)dut agung dipipanumbasna. Urang reya sa(ng)kan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda pan prangprang di Majapahit.

Artinya:
“Punya anak, Prabu Maharaja, lamanya menjadi raja tujuh tahun, lantaran terkena bencana, terbawa celaka oleh anaknya yang bernama Tohaan, meminta terlalu besar saratnya. Bermula banyak orang yang pergi ke Jawa, karena tidak bersuami di Sunda. Terjadilah perang di Majapahit”. (Marwati Djonened Poesponegoro; 2008, 391)

Dari Cerita Parahyangan itu jelas bahwa yang memerintah ketika itu adalah Prabu Maharaja, dank arena ia dikatakan berkuasa selama tujuh tahun, dapat diperkirakan bahwa ia mulai menjadi raja pada tahun 1350 M, pada tahun yang sama dengan naik tahtanya hayam Wuruk di Majapahit. Dengan gugurnya sang Prabu Maharaja di Bubat, bukan berarti Suda tidak mempunyai raj lagi. Cerita Parahyangan memberitakan bahwa sang raja masih memiliki seorang anak yang terkenal, bernama Niskala Wastu Kencana. Tokoh inilah yang juga dikenal pada prasasti Kawali, Kabantenan, dan Batutulis, walaupun dengan nama yang berbeda.

Peristiwa Bubat ini merupakan salah satu bentuk realisasi dari Sumpah Amukti Palapa, Patih Gajah Mada. Seperti yang dikisahkan dalam Pararaton tersirat secara pribadi patih Gajah Mada yang “tidak menghendaki pernikahan resmi” dan menganggap Citraresmi “sebagai upeti”, sebenarnya merupakan alasan pribadi dikemas dalam diplomasi kenegaraan.

Untuk melengkapi keterangan di atas, berikut adalah berita lainya yang menceritakan peritiwa Bubat dalam uraian Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa II sarga 2;

//satuluynya cina-
Ritan ing trayodaci
Krsnapaksabadrama-
Ca/sahasra rwangatus pi-
Tung puluh punjul sanga/i-
Kang cakakala // sang pra-
Bhu maharaja Sunda pe-
Jah ta sira haneng
Bubat I wilwatikta-
Nagara // irikang kala
Sang prabhu maharaja ka-
Hyun ngawarangaken ana-
K ira ya ta sang retna ci-
Traresmi / athawa dyah pi-
Taloka lawan bhre
Prabhu wilwatikta cri
Rajasanagara ngaran ira /
Nihan ta mulatnya //

Artinya:
“Selanjutnya dikisahkan, pada tanggal 13 bagian terang bulan Badra tahun 1279 Saka, Sang Prabhu Maharaja gugur di Bubat di Negara Majapahit. Saat itu sang Prabu Maharaja bermaksud menikahkan putrinya yaitu Sang Ratna Citraresmi atau Dyah Pitaloka dengan Bre Majapahit yang bernama Sri Rajasanagara. Beginilah asal-mulanya”.

Detik-detik gugurnya Linggabuana

Rombongan kerajaan Sunda di bawah pimpinan Sang Prabu Linggabuana akhirnya tiba di Majapahit, saat sampai di sanana Dyah Pitaloka harus diserahkan sebagai istri-persebahan kepada Raja Majapahit Hayam Wuruk. Semua ini sebenarnya sangat bertentangan dengan janji sebelumnya dari Hayam Wuruk, maka untuk itu Raja Sunda tidak bersedia menyerahkan putrinya sebagai persebahan. Janji yang sebelumnya menghendaki Putri sunda sebagai permaisuri Raja Hayam Wuruk, akhirnya sirna setelah mendengar bahwa putrid sunda harus diserahkan sebagai upeti. Kehendak putir Sunda Dyah Pitaloka dijadikan upeti merupakan salah satu kehendak sepihak dari Gajah Mada tanpa sepengetahun dari Hayam Wuruk.

Mendengar permintaan seperti itu, akhirnya Sang Maharaja Linggabuana duduk termenung. Hatinya cemas dan ragu-ragu, dalam hatinya berpikir tidak mungkin ksatria Sunda mampu memenangkan pertempuran melawan pasukan Majapahit yang sedemikian besarnya.

Pada saat yang genting dan suasana semakin memanas, lalu ksatria Sunda berkumpul mendekati Sang Prabu Linggabuana. Pada saat itu juga mereka bermusyawarah dengan Sang Prabu Linggabuana dan akhirnya disepakati bahwa mereka semua sepakat untuk terjun dimedan tempur menyongsong pasukan Majapahit. Prabu Maharaja Linggabuana bersama pengikutnya tidak sudi menyerahkan putrinya sebagai persebahan.

Pada saat itu juga akhirnya Sang Prabu Linggabuana berseru kepada semua pengikutnya yang ada di Majapahit. Berikut adalah kata-katanya “walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku dan semua ksatria Sunda, tidak akan membiarkan penghianatan terhadap Negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!”

Kata-kata yang dikemukakan oleh Sang Prabu Linggabuana membuat hati para pengikut Sunda semakin besar. Pada saat tiba pasukan Majapahit, akhirnya pengawal sunda yang hanya beberapa puluh orang menyongsong dengan gagah berani. Namun karena jumlah pasukan yang jauh berbeda maka pada saat itu juga pasukan Sunda gugur dalam pertempuran termasuk Dyah Pitaloka yang melakukan mati-bela.

Pasukan Sunda yang gugur

Adapun pasukan Sunda yang gugur bersama sang Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka adalah Rakean Tumenggung Larang Ageng, Rakean Mantri Sohan, Yuwamantri (mentri muda) Gempong Lontong, Sang Panji Melong Sakti, Ki Penghulu Sura, rakean Mantri Saya, Rakean Rangga Kaweni, Sang Mantri usus (bayangkara sang prabu), Rakean Senapatiyuda Sutrajali, Rakean Juru Siring, Ki Jagat Saya patih mandala Kidul, Sang Matri Patih Wirayuda, Rakean Nakoda Braja (panglima pasukan laut Sunda), Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajan), Ki Juruwastra, Ki Mantri Sabrang Keling, dan Ki Mantri Sumping Keling, bersama semua pengiringnya.

Kemaksuran nama Linggabuana setelah meninggal

Gugurnya Parbu Linggabuana dalam perang bubat meninggalkan kenangan kenangan pahit dalam sejarah Sunda, demi menghormati nama besarnya yang sudah membela harga diri dan kehormatan kerajaan dengan tetesan darah terakhirnya maka nama belaiu akhirnya diabadikan dalam sebuah panggilan Siliwangi. Kata Siliwangi sebelumnya dikenal dengan istilah gelar panggilan raja Prabu Wangi kepada Niskala Wastu Kencana yang merupakan anak dari Linggabuana, pemberian gelar ini merupakan bentuk penghormatan kepada ayahnya yang sudah mewangikan nama Sunda dengan membela harga diri dalam Bubat.

Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.”

Dengan demikian nama Siliwangi merupakan kata yang berasal dari Prabu Wangi, yaitu panggilan Niskala Wastu Kencana sebagai penghormatan kepada ayahnya Linggabuana, nama Prabu Wangi akhirnya dipopulerkan dengan kata Siliwangi dalam beberapa pantun Sunda dan akhirnya dijadikan sebagai panggilan kehormatan untuk Raja-raja Pajajaran.

Kepustakaan
Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat. Bandung: CV Geger Sunten
Sukardja, Djadja. 2005. Situs Kawali.
http://pramekers.wordpress.com/2009/03/21/eyang-prabu-siliwangi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Baduga_Maharaja
Share |